Kota Manado secara hukum adat merupakan wilayah dari
Tanah Minahasa, dimana masyarakatnya sebagian besar berasal dari Suku Minahasa
yakni Sub Suku Tombulu, Tonsea, Tontemboan atau Tompakewa, Toulour, Tonsawang,
Pasan atau Ratahan, Ponosakan, dan Bantik. Ada juga masyarakat pendatang dari
luar negeri, seperti Bangsa Cina yang telah kawin mawin dengan orang
Manado-Minahasa dan keturunannya disebut Cina Manado, Bangsa Portugis dan
Spanyol yang keturunannya disebut Orang Borgo Manado, Bangsa Belanda yang
keturunannya disebut Endo Manado serta Bangsa Arab, Jepang, dan India dimana
perkawinan mereka bersifat endogam.
Disamping itu, ada pula penduduk Kota Manado yang
berasal dari Suku Sangihe Talaud, Bolaang Mongondouw, Gorontalo serta daerah
lainnya dari seluruh Indonesia yang telah sekian lama menetap.
Artikel ini di tulis berdasarkan referensi dari Buku
yang Berjudul “Sejarah Manusia Pertama Di Minahasa” terbitan Juni 1975 Karya I.
W. Palit seorang Guru yang berasal dari Tomohon.
Buku Sejarah Manusia Pertama Di Minahasa, oleh Pdt.
Prof. Dr. W. A. Roeroe telah diperbanyak dan disebarluaskan sejak bulan Juli
tahun 1980.
Dalam artikel ini, Saya berusaha untuk memaparkan
kembali “Sejarah Manusia Pertama Di Minahasa” dengan tentunya memakai gaya dan
bahasa Saya yang berlatar belakang seorang pemerhati Pariwisata dan Kebudayaan
di Kota Manado, agar supaya lebih dapat dipahami khususnya oleh Generasi Muda.
Dan karena itu Saya merubah judulnya menjadi “Asal Mula Orang Manado Dari Suku
Minahasa” sehingga bernilai informasi dan promosi pariwisata.
Asal Mula Orang
Manado Dari Suku
Minahasa, adalah sebagai berikut
:
Pada mulanya ada sekelompok orang (pelaut) yang tidak
jelas asalnya mendarat disebelah barat tanah Malesung. Pemimpin kelompok orang
itu bernama Sumilang yang bergelar Ratu. Dalam kelompok orang tersebut juga
terdapat perempuan tua benama Karema
sebagai seorang Imam. Karema mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Lumimuut.
Di tanah Malesung, mereka mendiami suatu dataran tinggi
tepatnya diantara gunung Lokon, Kasaha, dan Tatawiran Kota Tomohon sekarang.
Dalam doa dengan bahasa Tombulu mereka meminta agar ditibakan pada ketiga
gunung tempat mereka bisa lanjut umur dan sejahtera. Doanya yakni : “Iayo-ayo kai
wana se lokontelu katu’a’an
wo kalawiran nai”.
Artinya : “ Tibakanlah Kami pada
ketiga gunung tempat Kami lanjut umur dan sejahtera”.
Ratu Sumilang dan Imam Karema beserta para pengikutnya
membuat pondok tempat tinggal di Mahwatu Tu’urzintana, artinya ditempat banyak
pohon Mahwatu dipangkal tanah, yakni dataran ditengah-tengah ketiga gunung
tadi. Mereka lebih memilih lokasi itu karena dapat langsung melihat ke arah
laut supaya selalu waspada jangan-jangan ada perampok datang. Lokasi yang
tinggi itu adalah diatas hulu sungai Makalesung, yaitu anak sungai Ranowangko
yang bermuara di Tana’wangko, artinya tanah besar.
Dari Mahwatu Tu’urzintana, Ratu Sumilang dan Karema
mengajak para pengikutnya untuk berpindah ke timur di sekitar mata air besar
Wailan dekat kaki gunung Lokon sebelah tenggara. Dari situ, mereka berpindah
lagi ke timur laut dan merombak hutan untuk berkebun. Lokasi itu, yakni di
dekat mata air tepatnya di kaki gunung Mahawu. Pertimbangan mereka menetap di
situ, oleh karena tanahnya sangat subur.
Suatu ketika, Imam Karema memanjatkan doa kepada Empung
Wailan Wangko (Allah Yang Maha Kaya dan Maha Besar). Maka berdasarkan suara
burung, Karema mendapat tanda yang tidak bagus. Artinya Allah tidak berkenan
untuk mereka tinggal di situ. Lalu Imam Karema mengatakan kepada Ratu Sumilang
dan para pengikutnya, kalimat “Kinelongan”, yang artinya tidak diperkenankan.
Kinelongan asal katanya Kelong. Oleh sebab itu mata air di tempat itu dinamai
“Kelong”. Dua anak sungai Kelong saat ini melalui dua jembatan di Jalan Raya
Negeri Kakaskasen Kota Tomohon, yaitu Jembatan Kelong Satu dan Jembatan Kelong
Dua. Air sungai Kelong Satu dan kelong Dua mengalir dan menjadi satu di utara
lalu bertemu dengan sungai air panas di kaki gunung Lokon kemudian menjadi satu
lagi sebagai sungai besar, yakni sungai disebelah utara Negeri Kinilow Kota
Tomohon.
Ratu Sumilang dan Imam Karema, akhirnya berselisih. Ratu
Sumilang bersikeras untuk tetap menetap ditempat itu karena tidak percaya
terhadap pertanda suara burung, namun Imam Karema berprinsip mengikuti petunjuk
Allah lewat pertanda suara burung agar berpindah dari tempat itu. Kemudian Imam
Karema dan anaknya Lumimuut kembali ke lokasi di dekat mata air Wailan suatu
tempat yang agak tinggi di kaki gunung Lokon sebelah tenggara.
Tiba-tiba gunung Lokon dan gunung Mahawu sama-sama
meletus. Gunung Lokon memuntahkan dan melontarkan batu-batu besar sedangkan
gunung Mahawu mengeluarkan air dengan lumpur panas sehingga terjadi ampuhan
diantara gunung Lokon dan gunung Mahawu.
Karema dan anaknya Lumimuut melihat ke arah timur
tenggara, maka dilihatnya oleh kedua perempuan itu puncak gunung seperti bulung
ayam terletak diatas permukaan air ampuhan itu. Maka dinamainya gunung itu
dengan nama Masarang, yakni dari asal kata nima’asar an sarang yang artinya
menyerupai bulung ayam.
Karema dan Lumimuut berniat kesana apabila air ampuhan
itu telah surut untuk mengetahui nasib Ratu Sumilang dan pengikutnya. Ternyata
Karema dan Lumimuut mendapati Ratu Sumilang bersama para pengikutnya telah
meninggal semua, sehingga tinggallah Karema dan Lumimuut yang masih hidup
ketika itu di tanah Malesung.
Waktu Karema dan Lumimuut mencari-cari mungkin masih ada
orang lainnya yang masih hidup; karena kelelahan dan di kotori oleh debu, maka
Lumimuut pergi ke mata air lalu membuka kainnya dan diletakkan diatas sebuah
batu kemudian mandi.
Tidak disadari oleh Lumimuut, ternyata ditempat itu
tepatnya diatas bukit sebelah selatan mata air ada orang yang melihat-lihat
Lumimuut mandi. Orang itu bernama Sumendap yang telah datang dari sebelah
selatan bersama para pengiringnya. Sumendap ini adalah seorang Raja. Maka
Sumendap menyuruh anak buahnya untuk mengambil kain milik Lumimuut yang
diletakkan diatas batu itu. Selesai mandi, Lumimuut mencari-cari kainnya;
sangkaannya kainnya itu telah hanyut terbawa air. Maka Lumimuut mengejar
kainnya; dikatakan dalam bahasa Tombulu “si Lumimuut melele’ umbuyangna”.
Tetapi Lumimuut tidak juga mendapati kainnya. Maka Dia pun pulang berlari-lari
dengan telanjang kepada Karema Ibunya, memberitahukan bahwa kainnya sudah
hilang. Karema pun marah lalu disuruhnya anak itu untuk mencari kainnya sampai
dapat. Lumimuut kembali ke mata air, namun kainnya tidak juga didapatinya.
Karena kelelahan mencari kainnya, maka duduklah Dia diatas batu yang tadinya
diletakkan kainnya itu, lalu Dia menangis tersedu-sedu dengan nyaring.
Raja Sumendap mendengar suara tangisan Lumimuut,
sehingga Dia merasa iba hatinya mendengar Lumimuut menangis. Lalu Raja Sumendap
menyuruh anak buahnya untuk mengembalikan kain kepunyaan Lumimuut serta pakaian
dan perhiasan yang bagus-bagus.
Kemudian anak buah Raja Sumendap membawa Lumimuut
menghadap Raja mereka yang berada diatas bukit. Maka Lumimuut menjadi Istri
Raja Sumendap. Perlu dicatat bahwa mata air dan sungai tempat Lumimuut mengejar
kainnya dinamai “Lembuyang” dari pada kata “Melele’ umbuyang” yang artinya
mengejar kain. Arti lainnya, “Lele’ umbuyang” yakni karena kain maka Lumimuut
diambil oleh Raja Sumendap menjadi Istrinya.
Oleh karena Lumimuut di jadikan Istrinya Raja Sumendap,
maka Lumimuut pun mengandung. Namun belum juga lahir anaknya, Raja Sumendap
telah berjalan pulang kembali ke selatan dan tidak kembali lagi. Sumendap tidak
memberitahukan kepada Lumimuut dan Karema kalau Dia pergi kemana.
Setelah anak Lumimuut lahir, maka Lumimuut bertanya
kepada Karema Ibunya : “Apakah nama anak ini ?”. Karema mengatakan : “Oleh
sebab bapaknya hanya sepeti angin datangnya lalu pergi dan tidak kelihatan lagi
karena tidak pulang, maka anak itu Saya namai “Touareghes” yang artinya “Orang
dari Angin”. Dalam keseharian nama Touareghes dipendekkan menjadi “Toar”.
Pada keliling tempat Toar lahir dilepaskan suweng, yaitu
kain tua yang dicarik dan dipintak dibuat seperti tali dilepaskan di atas
batu-batu lalu dipasang api sehingga berasap menjadi seperti obat yang berbau
rangsang sehingga nyamuk tidak mau mendekat. Ditempat itu batu-batunya hingga
sekarang dikumpul menjadi peringatan dan ditaruh tawa’ang (lenjuang)
disekelilingnya lalu dinamai Pahsuwengan, artinya tempat meletakkan suweng pertama
waktu manusia pertama disini lahir.
Bukti Batu Pahsuwengan itu ada di atas bukit sebelah
timur halaman Universitas Kristen Indonesia (UKI) Kota Tomohon sekarang. Dan
disebelah selatan mata air Lembuyang di kaki gunung Rumengan, yaitu di Tu’urz
in tana’ Wulur Mahatus, artinya pangkal tanah pegunungan beratus-ratus jauh ke
selatan di hitung mulai dari gunung Rumengan memanjang ke selatan menjadi
pegunungan yang banyak puncaknya seolah-olah beratus-ratus kelihatan dari
Malesung. Tanah Malesung, yaitu gunung Lokon dan Empung bersama-sama nima’asar
a lesung, artinya menyerupai lesung kelihatan dari bukit Pahsuwengan.
Dataran di kaki bukit Pahsuwengan menjadi tempat
pertemuan seluruh rakyat dengan Pemerintah dan Pemimpin Agama khalayak. Dekat
batu Pahsuwengan, yaitu pada sebelah timur laut adalah batu besar yang digarisi
dari atas sampai ke tanah dinamai Watu Tu’urz in tana’ Wulur Mahatus yang
garisnya menunjukkan jalan Karema dan Lumimuut dari Mahwatu Tu’urz in tana’
Malesung sampai ke Tu’urz in tana’ Wulur Mahatus. Dekat batu bergaris sampai ke
tanah, itulah tempat Lumimuut berdiri waktu Dia diantar menjadi istri Raja
Sumendap. Disitulah juga Lumimuut melahirkan anaknya yang dinamai oleh Karema
“Touareghes” yang dipendekkan menjadi “Toar”.
Selanjutnya, setelah Toar lepas susu maka Dia dipelihara
oleh neneknya Karema sampai menjadi besar. Kemudian setelah Toar sudah cukup
tuanya, maka Karema hendak mencarikan istri tetapi tak ada perempuan lain
ketika itu.
Maka Karema pun mengambil sebatang gelegah hutan atau
tu’is yang dicabut dengan akarnya, dikeluarkan akarnya dan dibuang daunnya lalu
batang gelegah itu dibagi dua sama panjang. Karema bedoa kepada Empung Wailan
Wangko (Allah Maha Besar) kalau-kalau Toar diperbolehkan untuk kawin dengan Lumimuut
Ibunya karena waktu itu tidak ada perempuan lain selain mereka.
Gelegah itu menjadi kokomba’an atau selaku undian.
Karema memberikan gelegah yang telah dijadikan tongkat, satu kepada Lumimuut
dan satunya lagi kepada Toar disertai bekal secukupnya untuk beberapa hari.
Gelegah yang berpangkal (bekas akar) diberikan kepada Toar, sedangkan gelegah
yang tidak berpangkal akar diberikan kepada Lumimuut. Lalu Karema berkata
kepada Toar dan Lumimuut : “Kamu berdua berjalan membawa tongkat gelegah ini
mengelilingi tanah disebelah utara itu; Toar kearah kiri dan Lumimuut kerah
kanan. Kalau Kamu berdua bertemu, pertemukanlah juga tongkat Kamu. Jika kedua
tongkat Kamu itu tidak sama panjang lagi, maka itu tandanya Empung Wailan
Wangko telah mengizinkan Kamu berdua menjadi suami istri; tetapi kalau masih sama panjang maka tidak boleh
Kamu jadi suami istri”.
Maka berjalanlah Toar ke bagian utara pada sebelah timur
gunung Lokon mengikuti aliran sungai
yang menuju kearah mata air panas di kaki gunung Lokon. Sedangkan Lumimuut
berjalan ke utara melalui mata air Kelong di kaki gunung Mahawu sebelah barat,
lalu terus berjalan didataran yang dilalui sungai yang mengalir ke barat menuju
utara bertemu dengan sungai air panas di kaki gunung Lokon.
Toar dan Lumimuut kemudian berpandang-pandanglah
diseberang-menyeberang sungai air dingin yang menuju ke sungai mata air panas.
Lumimuut pun yang berada disebelah timur sungai air dingin segera turun
menyeberang pergi kepada Toar yang berdiri dekat sungai air panas. Dipertemukan
kedua tongkat gelegah yang ada pada tangan mereka masing-masing dan keduanya
melihat tongkat itu tidak lagi sama panjang. Keduanya pun menjadi suami istri
pada sekitar tahun 1250.
Toar dan Lumimuut tinggal dibawah pohon Kinilow dekat
sungai mata air panas di kaki Lokon sebelah timur antara dua sungai yang
bertemu disebelah barat Negeri Kinilow sekarang ini. Karema telah mengetahui
bahwa dalam satu hari saja Toar dan Lumimuut pasti akan bertemu pada pertemuan
segala air yang mengalir ke utara di dataran antara gunung Lokon dan gunung
Mahawu.
Toar dan Lumimuut beranak laki-laki sulung yang dinamai
Muntu-untu, karena Dia lahir di tempat berbukit-bukit (Wuntu artinya Bukit).
Anak kedua juga laki-laki yang dinamai Soputan (Sereputan un tenga’) karena Dia
lahir sementara Toar menyembur-menyemburkan sirih pinang dari mulutnya
(Mah’sereput un tenga’). Anak yang ketiga seorang perempuan yang dinamai
Rumintu’unan karena manusia di tanah Malesung sudah bertiga-tiga seperti batu
tutu’unan yaitu batu tungku. Anak keempat perempuan yang dinamai Pariwuan
karena sudah ada pengharapan manusia disini akan jadi beribu-ribu banyaknya.
Anak kelima perempuan juga yang dinamai Lingkanbene’ artinya ingin akan nasi
dari beras padi (Lili ung kan wene’).
Seterusnya Muntu-untu beristrikan Rumintu’unan(sekitar
tahun 1280); Soputan beristrikan Pariwuan (sekitar tahun 1280); Lingkanbene
bersuamikan orang kulit putih (sekitar tahun 1280) yang pertama datang di tanah
Malesung, namanya Aruns Crito yang disebut dalam bahasa Tombulu sebagai Arorz
Kerito. Aruns Crito melihat Lingkanbene perempuan muda itu pertama kali ketika
Toar sedang membuat garam dekat pohon-pohon mah wenang di pantai Manado
sekarang ini.
Muntu-untu dan Rumintu’unan beranak Rumengan dan
Pinonto’an Lokon serta Manarengseng; Soputan dan Pariwuan beranak perempuan
yang dinamai Kati. Rumengan mengambil Kati menjadi Istrinya yang kemudian
dinamai Katiwiey. Maka Rumengan dan Katiwiey beranak perempuan yang dinamai Linow dan beberapa
saudaranya. Adik Rumengan yakni Pinonto’an Lokon mengambil Kati itu juga
menjadi Istrinya yang kemudian dinamai Katiambilingan serta beranak laki-laki
yang dinamai Ahkaimbanua dan lagi seorang laki-laki yang dinamai Singal
Pinonto’an.
Rumengan dan Pinonto’an berselisih sebab Kati
bersuamikan dua orang yang bersaudara (Kakak dan Adik). Berlututlah mereka
berdua di tempat yang sekarang bernama “Pinahwela’an” artinya tempat bergelut;
tempat itu dekat dengan kuala mata air panas disebelah barat laut Negeri
Kakaskasen sekarang ini. Rumengan akhirnya mengalah dan berpindah membawa
anak-anaknya pergi ke gunung yang hingga sekarang dinamai gunung Rumengan.
Bapanya Kati, yakni Soputan berpindah juga karena naknya
menjadi pokok perselisihan, lalu dibawanya akan Pariwuan isterinya dan beberapa
anaknya bersama-sama dengan Imam Karema neneknya pergi ke selatan bertinggal
dekat kaki gunung yang disebut “Kuntung in Wailan Soputan”.
Pada waktu Imam Karema meninggal, semua keturunannya
pergi ke sana sambil menangis. Mereka berseru : “O Ka’rima o!” artinya Aduhai
Datuk Karema kami menyesal Kau pergi meninggalkan kami.
Sesudah Karema dimakamkan, mereka berkumpul dekat batu
yang menjadi tanda pertemuan dan perpisahan. Batu itu ada hingga sekarang ini,
yang dikenal dengan sebutan “Watu Pinahwetengan” artinya batu perpisahan karena
seolah-olah keturunan Karema telah terbagi-bagi lalu berpisah pergi ketempatnya
masing-masing di tanah Minahasa termasuk Kota Manado,-