Selasa, 19 Maret 2013

Asal Mula Orang Manado Dari Suku Minahasa



Kota Manado secara hukum adat merupakan wilayah dari Tanah Minahasa, dimana masyarakatnya sebagian besar berasal dari Suku Minahasa yakni Sub Suku Tombulu, Tonsea, Tontemboan atau Tompakewa, Toulour, Tonsawang, Pasan atau Ratahan, Ponosakan, dan Bantik. Ada juga masyarakat pendatang dari luar negeri, seperti Bangsa Cina yang telah kawin mawin dengan orang Manado-Minahasa dan keturunannya disebut Cina Manado, Bangsa Portugis dan Spanyol yang keturunannya disebut Orang Borgo Manado, Bangsa Belanda yang keturunannya disebut Endo Manado serta Bangsa Arab, Jepang, dan India dimana perkawinan mereka bersifat endogam.

Disamping itu, ada pula penduduk Kota Manado yang berasal dari Suku Sangihe Talaud, Bolaang Mongondouw, Gorontalo serta daerah lainnya dari seluruh Indonesia yang telah sekian lama menetap.
Artikel ini di tulis berdasarkan referensi dari Buku yang Berjudul “Sejarah Manusia Pertama Di Minahasa” terbitan Juni 1975 Karya I. W. Palit seorang Guru yang berasal dari Tomohon.
Buku Sejarah Manusia Pertama Di Minahasa, oleh Pdt. Prof. Dr. W. A. Roeroe telah diperbanyak dan disebarluaskan sejak bulan Juli tahun 1980.
Dalam artikel ini, Saya berusaha untuk memaparkan kembali “Sejarah Manusia Pertama Di Minahasa” dengan tentunya memakai gaya dan bahasa Saya yang berlatar belakang seorang pemerhati Pariwisata dan Kebudayaan di Kota Manado, agar supaya lebih dapat dipahami khususnya oleh Generasi Muda. Dan karena itu Saya merubah judulnya menjadi “Asal Mula Orang Manado Dari Suku Minahasa” sehingga bernilai informasi dan promosi pariwisata.


Asal  Mula  Orang  Manado  Dari  Suku  Minahasa,  adalah sebagai berikut :
Pada mulanya ada sekelompok orang (pelaut) yang tidak jelas asalnya mendarat disebelah barat tanah Malesung. Pemimpin kelompok orang itu bernama Sumilang yang bergelar Ratu. Dalam kelompok orang tersebut juga terdapat  perempuan tua benama Karema sebagai seorang Imam. Karema mempunyai seorang anak perempuan  yang bernama Lumimuut.
Di tanah Malesung, mereka mendiami suatu dataran tinggi tepatnya diantara gunung Lokon, Kasaha, dan Tatawiran Kota Tomohon sekarang. Dalam doa dengan bahasa Tombulu mereka meminta agar ditibakan pada ketiga gunung tempat mereka bisa lanjut umur dan sejahtera. Doanya  yakni : “Iayo-ayo  kai  wana  se lokontelu  katu’a’an  wo  kalawiran  nai”.   Artinya  : “ Tibakanlah Kami pada ketiga gunung tempat Kami lanjut umur dan sejahtera”.
Ratu Sumilang dan Imam Karema beserta para pengikutnya membuat pondok tempat tinggal di Mahwatu Tu’urzintana, artinya ditempat banyak pohon Mahwatu dipangkal tanah, yakni dataran ditengah-tengah ketiga gunung tadi. Mereka lebih memilih lokasi itu karena dapat langsung melihat ke arah laut supaya selalu waspada jangan-jangan ada perampok datang. Lokasi yang tinggi itu adalah diatas hulu sungai Makalesung, yaitu anak sungai Ranowangko yang bermuara di Tana’wangko, artinya tanah besar.
Dari Mahwatu Tu’urzintana, Ratu Sumilang dan Karema mengajak para pengikutnya untuk berpindah ke timur di sekitar mata air besar Wailan dekat kaki gunung Lokon sebelah tenggara. Dari situ, mereka berpindah lagi ke timur laut dan merombak hutan untuk berkebun. Lokasi itu, yakni di dekat mata air tepatnya di kaki gunung Mahawu. Pertimbangan mereka menetap di situ, oleh karena tanahnya sangat subur.
Suatu ketika, Imam Karema memanjatkan doa kepada Empung Wailan Wangko (Allah Yang Maha Kaya dan Maha Besar). Maka berdasarkan suara burung, Karema mendapat tanda yang tidak bagus. Artinya Allah tidak berkenan untuk mereka tinggal di situ. Lalu Imam Karema mengatakan kepada Ratu Sumilang dan para pengikutnya, kalimat “Kinelongan”, yang artinya tidak diperkenankan. Kinelongan asal katanya Kelong. Oleh sebab itu mata air di tempat itu dinamai “Kelong”. Dua anak sungai Kelong saat ini melalui dua jembatan di Jalan Raya Negeri Kakaskasen Kota Tomohon, yaitu Jembatan Kelong Satu dan Jembatan Kelong Dua. Air sungai Kelong Satu dan kelong Dua mengalir dan menjadi satu di utara lalu bertemu dengan sungai air panas di kaki gunung Lokon kemudian menjadi satu lagi sebagai sungai besar, yakni sungai disebelah utara Negeri Kinilow Kota Tomohon.

Ratu Sumilang dan Imam Karema, akhirnya berselisih. Ratu Sumilang bersikeras untuk tetap menetap ditempat itu karena tidak percaya terhadap pertanda suara burung, namun Imam Karema berprinsip mengikuti petunjuk Allah lewat pertanda suara burung agar berpindah dari tempat itu. Kemudian Imam Karema dan anaknya Lumimuut kembali ke lokasi di dekat mata air Wailan suatu tempat yang agak tinggi di kaki gunung Lokon sebelah tenggara.
Tiba-tiba gunung Lokon dan gunung Mahawu sama-sama meletus. Gunung Lokon memuntahkan dan melontarkan batu-batu besar sedangkan gunung Mahawu mengeluarkan air dengan lumpur panas sehingga terjadi ampuhan diantara gunung Lokon dan gunung Mahawu.
Karema dan anaknya Lumimuut melihat ke arah timur tenggara, maka dilihatnya oleh kedua perempuan itu puncak gunung seperti bulung ayam terletak diatas permukaan air ampuhan itu. Maka dinamainya gunung itu dengan nama Masarang, yakni dari asal kata nima’asar an sarang yang artinya menyerupai bulung ayam.
Karema dan Lumimuut berniat kesana apabila air ampuhan itu telah surut untuk mengetahui nasib Ratu Sumilang dan pengikutnya. Ternyata Karema dan Lumimuut mendapati Ratu Sumilang bersama para pengikutnya telah meninggal semua, sehingga tinggallah Karema dan Lumimuut yang masih hidup ketika itu di tanah Malesung.
Waktu Karema dan Lumimuut mencari-cari mungkin masih ada orang lainnya yang masih hidup; karena kelelahan dan di kotori oleh debu, maka Lumimuut pergi ke mata air lalu membuka kainnya dan diletakkan diatas sebuah batu kemudian mandi.
Tidak disadari oleh Lumimuut, ternyata ditempat itu tepatnya diatas bukit sebelah selatan mata air ada orang yang melihat-lihat Lumimuut mandi. Orang itu bernama Sumendap yang telah datang dari sebelah selatan bersama para pengiringnya. Sumendap ini adalah seorang Raja. Maka Sumendap menyuruh anak buahnya untuk mengambil kain milik Lumimuut yang diletakkan diatas batu itu. Selesai mandi, Lumimuut mencari-cari kainnya; sangkaannya kainnya itu telah hanyut terbawa air. Maka Lumimuut mengejar kainnya; dikatakan dalam bahasa Tombulu “si Lumimuut melele’ umbuyangna”. Tetapi Lumimuut tidak juga mendapati kainnya. Maka Dia pun pulang berlari-lari dengan telanjang kepada Karema Ibunya, memberitahukan bahwa kainnya sudah hilang. Karema pun marah lalu disuruhnya anak itu untuk mencari kainnya sampai dapat. Lumimuut kembali ke mata air, namun kainnya tidak juga didapatinya. Karena kelelahan mencari kainnya, maka duduklah Dia diatas batu yang tadinya diletakkan kainnya itu, lalu Dia menangis tersedu-sedu dengan nyaring.

Raja Sumendap mendengar suara tangisan Lumimuut, sehingga Dia merasa iba hatinya mendengar Lumimuut menangis. Lalu Raja Sumendap menyuruh anak buahnya untuk mengembalikan kain kepunyaan Lumimuut serta pakaian dan perhiasan yang bagus-bagus.
Kemudian anak buah Raja Sumendap membawa Lumimuut menghadap Raja mereka yang berada diatas bukit. Maka Lumimuut menjadi Istri Raja Sumendap. Perlu dicatat bahwa mata air dan sungai tempat Lumimuut mengejar kainnya dinamai “Lembuyang” dari pada kata “Melele’ umbuyang” yang artinya mengejar kain. Arti lainnya, “Lele’ umbuyang” yakni karena kain maka Lumimuut diambil oleh Raja Sumendap menjadi Istrinya.
Oleh karena Lumimuut di jadikan Istrinya Raja Sumendap, maka Lumimuut pun mengandung. Namun belum juga lahir anaknya, Raja Sumendap telah berjalan pulang kembali ke selatan dan tidak kembali lagi. Sumendap tidak memberitahukan kepada Lumimuut dan Karema kalau Dia pergi kemana.
Setelah anak Lumimuut lahir, maka Lumimuut bertanya kepada Karema Ibunya : “Apakah nama anak ini ?”. Karema mengatakan : “Oleh sebab bapaknya hanya sepeti angin datangnya lalu pergi dan tidak kelihatan lagi karena tidak pulang, maka anak itu Saya namai “Touareghes” yang artinya “Orang dari Angin”. Dalam keseharian nama Touareghes dipendekkan menjadi “Toar”.
Pada keliling tempat Toar lahir dilepaskan suweng, yaitu kain tua yang dicarik dan dipintak dibuat seperti tali dilepaskan di atas batu-batu lalu dipasang api sehingga berasap menjadi seperti obat yang berbau rangsang sehingga nyamuk tidak mau mendekat. Ditempat itu batu-batunya hingga sekarang dikumpul menjadi peringatan dan ditaruh tawa’ang (lenjuang) disekelilingnya lalu dinamai Pahsuwengan, artinya tempat meletakkan suweng pertama waktu manusia pertama disini lahir.
Bukti Batu Pahsuwengan itu ada di atas bukit sebelah timur halaman Universitas Kristen Indonesia (UKI) Kota Tomohon sekarang. Dan disebelah selatan mata air Lembuyang di kaki gunung Rumengan, yaitu di Tu’urz in tana’ Wulur Mahatus, artinya pangkal tanah pegunungan beratus-ratus jauh ke selatan di hitung mulai dari gunung Rumengan memanjang ke selatan menjadi pegunungan yang banyak puncaknya seolah-olah beratus-ratus kelihatan dari Malesung. Tanah Malesung, yaitu gunung Lokon dan Empung bersama-sama nima’asar a lesung, artinya menyerupai lesung kelihatan dari bukit Pahsuwengan.

Dataran di kaki bukit Pahsuwengan menjadi tempat pertemuan seluruh rakyat dengan Pemerintah dan Pemimpin Agama khalayak. Dekat batu Pahsuwengan, yaitu pada sebelah timur laut adalah batu besar yang digarisi dari atas sampai ke tanah dinamai Watu Tu’urz in tana’ Wulur Mahatus yang garisnya menunjukkan jalan Karema dan Lumimuut dari Mahwatu Tu’urz in tana’ Malesung sampai ke Tu’urz in tana’ Wulur Mahatus. Dekat batu bergaris sampai ke tanah, itulah tempat Lumimuut berdiri waktu Dia diantar menjadi istri Raja Sumendap. Disitulah juga Lumimuut melahirkan anaknya yang dinamai oleh Karema “Touareghes” yang dipendekkan menjadi “Toar”.
Selanjutnya, setelah Toar lepas susu maka Dia dipelihara oleh neneknya Karema sampai menjadi besar. Kemudian setelah Toar sudah cukup tuanya, maka Karema hendak mencarikan istri tetapi tak ada perempuan lain ketika itu.
Maka Karema pun mengambil sebatang gelegah hutan atau tu’is yang dicabut dengan akarnya, dikeluarkan akarnya dan dibuang daunnya lalu batang gelegah itu dibagi dua sama panjang. Karema bedoa kepada Empung Wailan Wangko (Allah Maha Besar) kalau-kalau Toar diperbolehkan untuk kawin dengan Lumimuut Ibunya karena waktu itu tidak ada perempuan lain selain mereka.
Gelegah itu menjadi kokomba’an atau selaku undian. Karema memberikan gelegah yang telah dijadikan tongkat, satu kepada Lumimuut dan satunya lagi kepada Toar disertai bekal secukupnya untuk beberapa hari. Gelegah yang berpangkal (bekas akar) diberikan kepada Toar, sedangkan gelegah yang tidak berpangkal akar diberikan kepada Lumimuut. Lalu Karema berkata kepada Toar dan Lumimuut : “Kamu berdua berjalan membawa tongkat gelegah ini mengelilingi tanah disebelah utara itu; Toar kearah kiri dan Lumimuut kerah kanan. Kalau Kamu berdua bertemu, pertemukanlah juga tongkat Kamu. Jika kedua tongkat Kamu itu tidak sama panjang lagi, maka itu tandanya Empung Wailan Wangko telah mengizinkan Kamu berdua menjadi suami istri;  tetapi kalau masih sama panjang maka tidak boleh Kamu jadi suami istri”.
Maka berjalanlah Toar ke bagian utara pada sebelah timur gunung Lokon  mengikuti aliran sungai yang menuju kearah mata air panas di kaki gunung Lokon. Sedangkan Lumimuut berjalan ke utara melalui mata air Kelong di kaki gunung Mahawu sebelah barat, lalu terus berjalan didataran yang dilalui sungai yang mengalir ke barat menuju utara bertemu dengan sungai air panas di kaki gunung Lokon.

Toar dan Lumimuut kemudian berpandang-pandanglah diseberang-menyeberang sungai air dingin yang menuju ke sungai mata air panas. Lumimuut pun yang berada disebelah timur sungai air dingin segera turun menyeberang pergi kepada Toar yang berdiri dekat sungai air panas. Dipertemukan kedua tongkat gelegah yang ada pada tangan mereka masing-masing dan keduanya melihat tongkat itu tidak lagi sama panjang. Keduanya pun menjadi suami istri pada sekitar tahun 1250.
Toar dan Lumimuut tinggal dibawah pohon Kinilow dekat sungai mata air panas di kaki Lokon sebelah timur antara dua sungai yang bertemu disebelah barat Negeri Kinilow sekarang ini. Karema telah mengetahui bahwa dalam satu hari saja Toar dan Lumimuut pasti akan bertemu pada pertemuan segala air yang mengalir ke utara di dataran antara gunung Lokon dan gunung Mahawu.
Toar dan Lumimuut beranak laki-laki sulung yang dinamai Muntu-untu, karena Dia lahir di tempat berbukit-bukit (Wuntu artinya Bukit). Anak kedua juga laki-laki yang dinamai Soputan (Sereputan un tenga’) karena Dia lahir sementara Toar menyembur-menyemburkan sirih pinang dari mulutnya (Mah’sereput un tenga’). Anak yang ketiga seorang perempuan yang dinamai Rumintu’unan karena manusia di tanah Malesung sudah bertiga-tiga seperti batu tutu’unan yaitu batu tungku. Anak keempat perempuan yang dinamai Pariwuan karena sudah ada pengharapan manusia disini akan jadi beribu-ribu banyaknya. Anak kelima perempuan juga yang dinamai Lingkanbene’ artinya ingin akan nasi dari beras padi (Lili ung kan wene’).
Seterusnya Muntu-untu beristrikan Rumintu’unan(sekitar tahun 1280); Soputan beristrikan Pariwuan (sekitar tahun 1280); Lingkanbene bersuamikan orang kulit putih (sekitar tahun 1280) yang pertama datang di tanah Malesung, namanya Aruns Crito yang disebut dalam bahasa Tombulu sebagai Arorz Kerito. Aruns Crito melihat Lingkanbene perempuan muda itu pertama kali ketika Toar sedang membuat garam dekat pohon-pohon mah wenang di pantai Manado sekarang ini.
Muntu-untu dan Rumintu’unan beranak Rumengan dan Pinonto’an Lokon serta Manarengseng; Soputan dan Pariwuan beranak perempuan yang dinamai Kati. Rumengan mengambil Kati menjadi Istrinya yang kemudian dinamai Katiwiey. Maka Rumengan dan Katiwiey beranak  perempuan yang dinamai Linow dan beberapa saudaranya. Adik Rumengan yakni Pinonto’an Lokon mengambil Kati itu juga menjadi Istrinya yang kemudian dinamai Katiambilingan serta beranak laki-laki yang dinamai Ahkaimbanua dan lagi seorang laki-laki yang dinamai Singal Pinonto’an.

Rumengan dan Pinonto’an berselisih sebab Kati bersuamikan dua orang yang bersaudara (Kakak dan Adik). Berlututlah mereka berdua di tempat yang sekarang bernama “Pinahwela’an” artinya tempat bergelut; tempat itu dekat dengan kuala mata air panas disebelah barat laut Negeri Kakaskasen sekarang ini. Rumengan akhirnya mengalah dan berpindah membawa anak-anaknya pergi ke gunung yang hingga sekarang dinamai gunung Rumengan.
Bapanya Kati, yakni Soputan berpindah juga karena naknya menjadi pokok perselisihan, lalu dibawanya akan Pariwuan isterinya dan beberapa anaknya bersama-sama dengan Imam Karema neneknya pergi ke selatan bertinggal dekat kaki gunung yang disebut “Kuntung in Wailan Soputan”.
Pada waktu Imam Karema meninggal, semua keturunannya pergi ke sana sambil menangis. Mereka berseru : “O Ka’rima o!” artinya Aduhai Datuk Karema kami menyesal Kau pergi meninggalkan kami.
Sesudah Karema dimakamkan, mereka berkumpul dekat batu yang menjadi tanda pertemuan dan perpisahan. Batu itu ada hingga sekarang ini, yang dikenal dengan sebutan “Watu Pinahwetengan” artinya batu perpisahan karena seolah-olah keturunan Karema telah terbagi-bagi lalu berpisah pergi ketempatnya masing-masing di tanah Minahasa termasuk Kota Manado,-

2 komentar:

Unknown mengatakan...

batu pina wetengan, prasasti dimana mereka berkumpul berdoa dan membagi masing2 wilayah dan batas2nya,,dlm cerita ini sebenarnya Karema sosok malaikat yg hadir waktu lumimuut melahirkan,,

maxmario392@gmail.com mengatakan...

Sungguh membingungkan, lebih bersifat legenda.

Posting Komentar